Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum
yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran
dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan
pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begitu perkasa
merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi,
laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah
satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya
rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas
kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum,
penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan
interaksi antara berbagai pelaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan
yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, penegak hukum tidak dapat semata-mata
dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic.
Namun proses penegakan hukum mempunyai
dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena
dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan
pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang
akan selalu menonjol adalah problema “law
in action” bukan pada “law in the
books”.
Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan
wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Jika hukum disusun supaya dapat
mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju
tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan
ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis
dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam
penegakan hukum.
Pada saat ini masyarakat mempertanyakan kinerja aparat
penegak hukum seperti dalam pemberantasan korupsi dan merebaknya mafia
peradilan. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum telah
mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan
lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian
masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Adanya
penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum/pengadilan tidak dapat
melepaskan diri struktur social masyarakatnya hukum tidaklah steril dari
perilaku–perilaku social lingkungannya.
Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai
opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang bertentangan
dengan nilai-nilai keadilan hidup yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat.
Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini public,
melainkan berdapak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum dimata
masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur dan mendorong
munculnya situasi anomi. Masyarakat kebingungan nilai–nilai mana yang
benar dan mana yang salah.
Masalah etika dan moral perlu mendapat perhatian yang
seksama untuk memberikan jiwa pada hukum dan penegaknya. Dalam rangka
revitalisasi hukum untuk mendukung demokratisasi, maka masalah moral dan etika
mendesak untuk ditingkatkan fungsi dan keberadaanya, karena saat ini aspek
moral dan etika telah menghilang dari system hukum di Indonesia.
Oleh karena itu perlu pengaturan yang komprehensif mengenai
etika profesi di kalangan penegak hukum, menciptakan kemandirian kelembagaan,
berfungsinya dewan/majelis kehormatan, yang kesemuanya ini untuk membangun
profesionalisme.
2. PERMASALAHAN
Dilihat dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan pokok yang diungkapkan lebih lanjut dalam penulisan ini, yaitu:
- Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi proses
penegakan hukum di Indonesia?
- Bagaimanakah
peranan pentingnya kode etik profesi hukum bagi para penegak hukum?
- Bagaimana
penegakan hukum yang berlandaskan moralitas?
3.
TUJUAN
Dari permasalahan diatas, dapat
ditentukan tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia
2. Untuk
mengetahui pentingnya peranan kode etik profesi hukum bagi para penegak hukum
di Indonesia
3. Untuk
mengetahui maksud dari penegakan hukum yang berlandaskan moralitas
4.
MANFAAT
Penulisan makalah ini dapat diambil
manfaat, yaitu:
1. Sebagai suatu
literatur untuk mengetahui bagaimana proses penegakan hukum di Indonesia
2. Sebagai
referensi bagi pembaca agar memahami faktor-faktor yang mempengaruhi proses
penegakan hukum di Indonesia
BAB II
Pembahasan
Indonesia adalah negara hukum yang
senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara
dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya
dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Dimanapun
juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki penegak-penegak hukum dan
hukum yang adil dan tegas. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan
pengistimewaan dalam menangani setiap kasus pidana.
Kondisi Hukum di Indonesia saat ini
lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang
berkaitan dengan kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang
berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan
berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan
hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di
Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan
kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan
negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli
maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan
hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja
dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi tetapi juga dipermainkan
seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi
semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit
Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat tidak adil,
karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang. Hukum hanya
berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak
memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas. Contohnya saja yaitu para
koruptor yang mempunyai kekuasaan di pemerintahan, masih ada saja yang tidak
diadili secara adil sesuai dengan tindakannya. Banyaknya mafia hukum di
Indonesia menyebabkan hukum itu sendiri bisa dibeli dengan uang. Seperti kasus
Gayus Tambunan, sudah terbukti bersalah dan ditahan di dalam rutan, tapi masih
saja sempat kabur dan berkeliaran di luar. Itu semua karena adanya kerjasama
dengan pihak yang mempunyai kekuasaan atau jabatan di rumah tahanan tersebut.
Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum
seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli
putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan
proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam
penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti
itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh
seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum
adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek
jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and
delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and
powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan
hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang
(politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum
juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum
semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan
dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat
terhadap hukum yang ada.
Orang biasa yang ketahuan melakukan
tindak pencurian kecil, seperti Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong
milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil
tiga butir kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang ‘numpang’ ngecas handphone
di sebuah rumah susun di Jakarta serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri
dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum. Sedangkan seorang pejabat
negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas
berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan
tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama.
Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda.
Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara
tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus
Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang
diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara,
kasus Bank Century, Kasus Nazarudin, BLBI, Artalita, Nunun Nurbaeti, Miranda
Gultom dan masih banyak lagi, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai
saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut
begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Perlu diketahui bersama utamanya
para Penegak Hukum seperti Polisi, Jaksa, Penasehat Hukum, dan Hakim seharusnya
memahami Hukum dalam konteks Moral Reading bukan sekedar Textual Reading. Yang
terjadi belakangan ini justru aparat menegakkan hukum dalam konteks Textual
Reading terhadap rakyat kecil.
Kondisi yang demikian atau katakanlah
kualitas dari penegakan hukum yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh
besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para
penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai
keadilan. Merusak
keadilan atau
bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak
rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari bukan
tidak tidak mungkin pertahanan
dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan
alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis
atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.Dengan kata
lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum
menjadi salah satu titik problem yang harus segera ditangani. Mental korup yang
merusak serta sikap mengabaikan atau tidak hormat terhadap hukum jelas bukan
karakter atau jati diri bangsa Indonesia. Pada sisi lain, nilai ketidakadilan akan meningkatkan aksi anarkhisme,
kekerasan, egoisme dan individualisme yang jelas-jelas tidak sejalan dengan
karakter bangsa yang penuh mufakat. [[1]]
Apa yang menyebabkan hukum di Indonesia sangat lamban dan
memihak kaum yang memiliki jabatan dan kekuasaan ? apa saja factor penghambat
penegakan hokum di Indonesia ?
Terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di
Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu :
1) lemahnya political will dan
political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih
sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat
kampanye
2) peraturan perundang-undangan yang
ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang
kepentingan rakyat.
3) rendahnya integritas moral,
kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim,
Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4) minimnya sarana dan prasana serta
fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5) tingkat kesadaran dan budaya hukum
masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
6) paradigma penegakan hukum masih
positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal
(formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
7) kebijakan (policy) yang diambil oleh
para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum
masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.
Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk
dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan
pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat
Indonesia, negeri ini butuh penegakkan hokum yang adil dan tegas. Tidak ada
diskriminasi dalam penegakkanya, masyarakat Indonesia begitu haus dengan
penegakkan hukum yang adil.
Pokok penegakan
hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. [[2]]
Faktor-faktor
tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam
hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni
lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup. [[3]]
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan
dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan
masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai
berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut
antara lain [[4]]
1.
Undang-undang tidak berlaku surut.
2.
Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
3. mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula.
4.
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat
umum, apabila pembuatnya sama.
5.
Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku
terdahulu.
6.
Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
7. Undang-undang
merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi,
melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang
hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari
golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang
dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan
yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan
tersebut, adalah:
1. Keterbatasan
kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
berinteraksi.
2. Tingkat
aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan
yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat proyeksi.
4. Belum ada
kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan
material.
5. Kurangnya
daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri
dengan sikap-sikap, sebagai berikut:
1. Sikap yang
terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap
untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka
terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa
mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5. Orientasi ke
masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6. Menyadari
akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang
pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat
manusia.
9. Menyadari
dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang
teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitingan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut
antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang
aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan
pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Yang tidak
ada-diadakan yang baru betul.
2. Yang rusak
atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
3. Yang
kurang-ditambah.
4. Yang
macet-dilancarkan.
5. Yang mundur
atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor
Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut
tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat
Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai
pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa
dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut :
1. Nilai
ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai
jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai
kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan
hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
Penegakan
supremasi hukum merupakan salah satu agenda reformasi yang sudah 10 tahun
berjalan. Apakah penegakan supremasi hukum yang diharapkan oleh masyarakat itu
telah tercapai ? Untuk menjawab pertanyaan ini, masyarakat mungkin memiliki
tanggapan yang beragam. Ada yang menjawab belum, lebih buruk, ada sedikit kemajuan,
atau mungkin ada juga yang menilai sudah lebih baik. Masing-masing jawaban
tersebut merupakan out put dari kinerja aparat penegak hukum yang langsung
dirasakan oleh setiap anggota masyarakat dalam aktivitas sehari-hari yang
berkaitan dengan hukum. Misalnya saat razia kendaraan, pembuatan SIM,
pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, sidang pengadilan dan lain-lain. Artinya
penilaian terhadap ada tidaknya reformasi hukum, salah satu indikatornya dapat
dilihat dari penilaian setiap orang ketika ia terlibat aktivitas hukum yang
tentunya melibatkan aparat penegak hukum. Apabila dalam aktivitas hukum
tersebut justru keluar dari jalur hukum, seperti adanya suap menyuap, pungli,
tebang pilih, atau KUHP yang dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara, dan
lain-lain, maka tidak salah apabila penilaian negatif diberikan terhadap
kinerja aparat penegakan hukum. Padahal yang melakukannya hanyalah oknum
tertentu saja dari sekian banyak aparat penegak hukum, namun berakibat pada
citra buruk aparat penegak hukum secara keseluruhan.
Berkaca dari beberapa kasus hukum
yang melibatkan oknum aparat penegak hukum, yang seyogyanya menegakkan hukum
justru melanggar hukum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, mulai dari
turunnya integritas moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan ekonomi,
minimnya penghasilan, lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan
terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya.
Salah satu faktor penyebab adanya
mafia peradilan adalah semakin hilang, bahkan tidak bermaknanya lagi sebuah kode
etik profesi hukum, yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi yang
menuntut adanya pertanggungjawaban moral kepada Tuhan, diri sendiri dan
masyarakat. Bertenns menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang
ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi
petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin
mutu moral profesi itu dimasyarakat.
Apa fungsi kode etik profesi ?
Sumaryono mengemukakan tiga fungsi, yaitu :
1. sebagai
sarana kontrol social
2. sebagai
pencegah campur tangan pihak lain
3. sebagai
pencegah kesalahpahaman dan konflik.
Berdasarkan pengertian dan fungsinya
tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan suatu pedoman untuk
menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi itu sendiri,
sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan masyarakat
terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum.
Profesi hukum meliputi polisi,
jaksa, hakim, advokad, notaris dan lain-lain, yang kesemuanya menjalankan
aktivitas hukum dan menjadi objek yang dinilai oleh masyarakat tentang baik
buruknya upaya penegakan hukum, walaupun faktor kesadaran hukum masyarakat
sebenarnya juga sangat menentukan dalam upaya tersebut. Berikut ini beberapa kode
etik profesi hukum, yang apabila dipatuhi dan ditegakkan dapat menjadi upaya
preventif keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus kejahatan dan lingkaran
mafia peradilan.
Dalam kode etik kepolisian, salah
satunya disebutkan bahwa setiap anggota Polri harus ”menjauhkan diri dari
perbuatan dan sikap tercela, serta mempelopori setiap tindakan mengatasi
kesulitan masyarakat sekelilingnya”. Disamping itu, setiap insan Polri juga
diharapkan ”mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan penyalahgunaan wewenang”.
Sementara dalam korps Adhyaksa,
diantaranya jaksa dilarang menerima atau meminta hadiah dan tidak boleh
menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan pihak lain,
termasuk dalam merekayasa fakta hukum dalam penanganan perkara.Dalam kode etik
hakim juga diatur beberapa larangan, seperti dilarang melakukan kolusi dengan
siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani. Kemudian
dilarang juga untuk menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang
berperkara.
Advokad merupakan profesi yang
memberikan jasa hukum, baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan, yang
kinerjanya juga mempengaruhi bagaimana kualitas penegakan hukum. Kode etik
advokad, khususnya dalam hubungan dengan klien, diantaranya advokad/penasihat
hukum tidak dibenarkan memberi keterangan yang dapat menyesatkan klien atau
menjamin perkara kliennya akan menang. Begitu pula dengan Notaris, sebagai
salah satu profesi hukum juga memiliki kode etik profesi dalam menjalankan
profesinya, karena notaris juga ikut serta dalam pembangunan nasional,
khususnya dibidang hukum. Dalam kode etiknya diatur bahwa notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur,
tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Apabila kita amati beberapa
ketentuan dalam kode etik profesi hukum tersebut, kesemuanya mewajibkan agar
setiap profesi hukum itu dijalankan sesuai dengan jalur hukum dan tidak ada
penyalahgunaan wewenang. Namun demikian, dalam prakteknya, kode etik profesi
hukum yang mengandung pertanggungjawaban moral untuk menjaga martabat profesi,
kini banyak dilanggar. Oleh karena itu perlu ada reformasi internal aparat
penegak hukum secara konsisten, profesional dan berkelanjutan berkaitan dengan
penegakan etika profesi hukum. Demikian perlu kejelasan kode etik profesi hukum
dan pemahaman baik moral maupun materil, agar penyelewengan hukum dapat
dikurangi dan perlahan diatasi. [5]
Penegakan hukum yang tidak
berdasarkan moralitas juga salah satu factor penghambat penegakan hukum itu
sendiri. Sebagai landasan penegakan hukum yang dapat menyahuti tuntutan
masyarakat haruslah hukumnya yang responsive, jika tidak maka ia akan
kehilangan rohnya. Rohnya hukum itu adalah moral dan keadilan. [6] Sudah sama dimaklumi, bahwa penegakan hukum
dimaksudkan, agar tercipta tatanan hukum yang baik bagi masyarakat, atau dengan
kata lain supaya hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia.
Penegakan hukum adalah sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi
pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran dan jika terjadi pelanggaran
memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali (restitution in
integrum). Dalam penegakan hukum paling tidak mengandung 3 (tiga) unsur yang
selalu harus diperhatikan, yaitu: Kepastian hukum (Rechtssicherheit),
Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit). Dalam penegakan
hukum, ketiga unsur tersebut harus sama-sama diperhatikan secara proporsional
dan seimbang. Maka secara konsepsional kata Sukamto (1983), inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejahwanta serta sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai yang bertujuan untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan perdamaian hidup. Nilai-nilai yang penting dalam
penegakan hukum, yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan dan kejujuran.
Keberadaan
hukum adalah untuk ditaati, dilaksanakan dan ditegakkan. Penegakan hukum (law
enforcement) harus dilakukan dengan tegas dan konsekuen, penuh dedikasi dan
tanggung jawab. Hal ini akan berpengaruh bagi peningkatan kesadaran hukum
masyarakat. Karena kalau penegakan hukum lemah, maka akan melahirkan sikap acuh
dari masyarakat dan memberi peluang serta perangsang terjadinya pelanggaran
hukum dan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).
Tercapainya
tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu sendiri. Seperti
disampaikan oleh Syahrani (1999), bahwa ketertiban dan ketenteraman hanya dapat
diwujudkan kalau hukum dilaksanakan. Sebab kalau tidak, kata Sudikno (1991),
maka peraturan hukum itu hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak mempunyai
makna dalam kehidupan masyarakat. Peraturan hukum yang demikian itu akan mati
sendiri. Oleh karena itu dalam keadaan bagaimanapun hukum harus ditegakkan.
Sampai- sampai ada adagium “meskipun langit ini runtuh hukum harus ditegakkan”
(fiat justitia et pereat mundus).
Di negeri ini sudah begitu banyak perturan
perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, tujuannya tidak lain adalah untuk
menjamin adanya kepastian hukum, namun dari waktu ke waktu, dari pergantian
beberapa kali pemerintahan mulai dari rezim Orde Lama, Orde Baru sampai dengan
sekarang ini Orde Reformasi yang namanya kebenaran dan keadilan masih terasa
amat jauh dan selalu menjadi bahan pertanyaan yang tak kunjung terjawab tuntas.
Sampai kapankah kita bisa menyaksikan kebanaran dan keadilan itu datang
berjalan bergandeng tangan dengan mesra menghiasi persada negeri ini.
Dalam
penegakan hukum harus pula diperhatikan kemanfaatan atau kegunaannya bagi
masyarakat. Oleh karena hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat, maka
pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyrakat. Jangan
sampai penegakan hukum justeru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam
kehidupan masyarakat. Penegakan hukum juga harus mengandung nilai-nilai
keadilan, tidak melanggar HAM dan dilakukan secara demokratis. [7]
Sebgai
elemen penegak hukum, mari bergegas tampil ke depan sebagai pahlawan kebenaran
dan keadilan. Tugas dan tanggung jawab yang berat, akan tetapi mempunyai nilai
yang luhur di hadapan Tuhan. Sebagai penegak hukum harus tertanam dengan kuat
komitmen, bahwa tujuan hukum adalah tegaknya kebenaran dan keadilan di muka
bumi ini.
Penegakan
hukum harus dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu terhadap pelaku
pelanggaran hukum. Untuk itu dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penuh
dedikasi dan rasa tanggung jawab serta integritas moral yang tangguh. Sebab
dari fenomena yang ada, karena kurangnya ketegasan atau karena kegamangan dalam
menghadapi pelanggaran hukum, maka banyak pelanggar-pelanggar hukum yang lolos
dari jerat hukum atau dengan kata lain lepas dari adanya pelanggaran hukum,
akan tetapi masih ada yang kurang mendapat respon dan penanganan yang memuaskan
oleh aparat penegak hukum, terutama perkara-perkara besar yang menjadi sorotan
publik. Sehingga ada pameo yang mengatakan, bahwa “hukum yang diterapkan saat
ini ibarat jaring laba-laba”, artinya mereka yang melakukan tindak pidana dalam
kategori kelas kakap lolos dari jeratan hukum, sedangkan yang terjerat hanya
kelas teri. Diakui atau tidak, proses penegakan hukum masih mengalami hambatan.
Untuk itu diperlukan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan konsisten
terhadap nilai-nilai moral. Karena aparat penegak hukum yang bertanggung jawab
dan bermoral tidak akan berani melakukan manipulasi hukum, dan tidak akan
berani mempertaruhkan harga dirinya dengan membohongi hati nuraninya. Karena
hal itu sama saja dengan main kucing-kucingan dengan Tuhan, padahal Tuhan
mengetahui apa-apa yang tersembunyi di balik hati manusia. Masyarakat sekarang
ini sudah semakin kritis dalam menilai permasalahan hukum, terutama terhadap
kasus-kasus pelanggaran hukum yang marak terjadi di mana- mana. Jika terjadi
ketidak sesuaian antara apa yang diharapan dengan kenyataan dalam penerapan
penegakan hukum, maka akibatnya masyarakat kurang mempercayai dan kurang
menghargai hukum. Akan lebih tragis lagi kalau masyarakat akan kurang
menghargai keberadaan aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.
BAB
III
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas bahwa
terhambatnya penegakan hukum di Indonesia karena beberapa faktor. Penegakan hukum di Indonesia sekarang juga
sudah kabur, antara yang benar dan yang salah sudah tidak ada batasan lagi.
Orang-orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan, maka dialah yang akan
mengendalikan hukum di Indonesia. Sedangkan mereka yang tak memiliki apa-apa hanya
bisa diam dan tak mampu untuk memberontak.
Untuk menstabilkan penegakan hukum di
Indonesia, maka kode etik profesi hukum sangat berperan di dalamnya sebagai
acuan para pemegang kekuasaan hukum untuk menentukan hukum yang seadil-adilnya.
Agar tercipta keamanan dan rasa nyaman bagi masyarakat Indonesia.
Dalam penegakan hukumpun landasan
moralitas sangat diperlukan, sebagai salah satu menentukan hukum yang baik bagi
setiap masyarakat. Ketiganya sangat berkaitan, baik factor penghambat, kode
etik profesi hokum, maupun landasan moralitas guna terciptanya Negara hukum di
Indonesia yang seutuhnya, bukan Negara hukum yang selama ini diperbudak oleh
kekuasaan dan jabatan.
[1] Kompas 2010
2.
Soerjono Soekanto dan Purbacaraka , Faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, 1979
[3] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, Rajawali, 1986, halm:3
[4] Soerjono Soekanto dan
Purbacaraka , Faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, 1979
Dikirim
oleh Admin , Tanggal 2008-12-30, Jam 19:15:07
[6] M. Husni, Moral dan Keadilan
Sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Responsive, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
[7] Drs. Lukman Hadi, SH. MH, Menjadikan
Moralitas Sebagai Landasan Dalam Berpolitik dan Penegakan Hukum,