Minggu, 24 Agustus 2014

Faktor Penghambat Penegakan Hukum di Indonesia


Pendahuluan
1.     Latar Belakang
Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begitu perkasa merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai pelaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, penegak hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”.
Akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum.
Pada saat ini masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum seperti dalam pemberantasan korupsi dan merebaknya mafia peradilan. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum/pengadilan tidak dapat melepaskan diri struktur social masyarakatnya hukum tidaklah steril dari perilaku–perilaku social lingkungannya. 
Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan hidup yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini public, melainkan berdapak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum dimata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat kebingungan nilai–nilai mana yang benar dan mana yang salah.
Masalah etika dan moral perlu mendapat perhatian yang seksama untuk memberikan jiwa pada hukum dan penegaknya. Dalam rangka revitalisasi hukum untuk mendukung demokratisasi, maka masalah moral dan etika mendesak untuk ditingkatkan fungsi dan keberadaanya, karena saat ini aspek moral dan etika telah menghilang dari system hukum di Indonesia.
Oleh karena itu perlu pengaturan yang komprehensif mengenai etika profesi di kalangan penegak hukum, menciptakan kemandirian kelembagaan, berfungsinya dewan/majelis kehormatan, yang kesemuanya ini untuk membangun profesionalisme.

2.      PERMASALAHAN
Dilihat dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang diungkapkan lebih lanjut dalam penulisan ini, yaitu:
  1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia?
  2. Bagaimanakah peranan pentingnya kode etik profesi hukum bagi para penegak hukum?
  3. Bagaimana penegakan hukum yang berlandaskan moralitas?


3.      TUJUAN
            Dari permasalahan diatas, dapat ditentukan tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia
2.      Untuk mengetahui pentingnya peranan kode etik profesi hukum bagi para penegak hukum di Indonesia
3.      Untuk mengetahui maksud dari penegakan hukum yang berlandaskan moralitas

4.      MANFAAT
            Penulisan makalah ini dapat diambil manfaat, yaitu:
1.      Sebagai suatu literatur untuk mengetahui bagaimana proses penegakan hukum di Indonesia
2.      Sebagai referensi bagi pembaca agar memahami faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia






BAB II
Pembahasan

            Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki penegak-penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus pidana.
            Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang  berkaitan dengan kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka tetapi tetapi  juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit
Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas. Contohnya saja yaitu para koruptor yang mempunyai kekuasaan di pemerintahan, masih ada saja yang tidak diadili secara adil sesuai dengan tindakannya. Banyaknya mafia hukum di Indonesia menyebabkan hukum itu sendiri bisa dibeli dengan uang. Seperti kasus Gayus Tambunan, sudah terbukti bersalah dan ditahan di dalam rutan, tapi masih saja sempat kabur dan berkeliaran di luar. Itu semua karena adanya kerjasama dengan pihak yang mempunyai kekuasaan atau jabatan di rumah tahanan tersebut.
Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.
Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang ‘numpang’ ngecas handphone di sebuah rumah susun di Jakarta serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century, Kasus Nazarudin, BLBI, Artalita, Nunun Nurbaeti, Miranda Gultom dan masih banyak lagi, hampir  semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Perlu diketahui bersama utamanya para Penegak Hukum seperti Polisi, Jaksa, Penasehat Hukum, dan Hakim seharusnya memahami Hukum dalam konteks Moral Reading bukan sekedar Textual Reading. Yang terjadi belakangan ini justru aparat menegakkan hukum dalam konteks Textual Reading terhadap rakyat kecil.
Kondisi yang demikian atau katakanlah kualitas dari penegakan hukum yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihindari  bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.Dengan kata lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik problem yang harus segera ditangani. Mental korup yang merusak serta sikap mengabaikan atau tidak hormat terhadap hukum jelas bukan karakter atau jati diri bangsa Indonesia. Pada sisi lain, nilai ketidakadilan akan meningkatkan aksi anarkhisme, kekerasan, egoisme dan individualisme yang jelas-jelas tidak sejalan dengan karakter bangsa yang penuh mufakat. [[1]]
Apa yang menyebabkan hukum di Indonesia sangat lamban dan memihak kaum yang memiliki jabatan dan kekuasaan ? apa saja factor penghambat penegakan hokum di Indonesia ?
Terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu :
1)      lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye
2)      peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3)      rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4)      minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5)      tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
6)      paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
7)      kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.
Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat Indonesia, negeri ini butuh penegakkan hokum yang adil dan tegas. Tidak ada diskriminasi dalam penegakkanya, masyarakat Indonesia begitu haus dengan penegakkan hukum yang adil.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. [[2]]
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. [[3]]
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain [[4]]
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
3. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
6. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan  materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut:
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
3. Yang kurang-ditambah.
4. Yang macet-dilancarkan.
5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
          Penegakan supremasi hukum merupakan salah satu agenda reformasi yang sudah 10 tahun berjalan. Apakah penegakan supremasi hukum yang diharapkan oleh masyarakat itu telah tercapai ? Untuk menjawab pertanyaan ini, masyarakat mungkin memiliki tanggapan yang beragam. Ada yang menjawab belum, lebih buruk, ada sedikit kemajuan, atau mungkin ada juga yang menilai sudah lebih baik. Masing-masing jawaban tersebut merupakan out put dari kinerja aparat penegak hukum yang langsung dirasakan oleh setiap anggota masyarakat dalam aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan hukum. Misalnya saat razia kendaraan, pembuatan SIM, pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, sidang pengadilan dan lain-lain. Artinya penilaian terhadap ada tidaknya reformasi hukum, salah satu indikatornya dapat dilihat dari penilaian setiap orang ketika ia terlibat aktivitas hukum yang tentunya melibatkan aparat penegak hukum. Apabila dalam aktivitas hukum tersebut justru keluar dari jalur hukum, seperti adanya suap menyuap, pungli, tebang pilih, atau KUHP yang dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara, dan lain-lain, maka tidak salah apabila penilaian negatif diberikan terhadap kinerja aparat penegakan hukum. Padahal yang melakukannya hanyalah oknum tertentu saja dari sekian banyak aparat penegak hukum, namun berakibat pada citra buruk aparat penegak hukum secara keseluruhan.
            Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan oknum aparat penegak hukum, yang seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya.
            Salah satu faktor penyebab adanya mafia peradilan adalah semakin hilang, bahkan tidak bermaknanya lagi sebuah kode etik profesi hukum, yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi yang menuntut adanya pertanggungjawaban moral kepada Tuhan, diri sendiri dan masyarakat. Bertenns menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dimasyarakat.
            Apa fungsi kode etik profesi ? Sumaryono mengemukakan tiga fungsi, yaitu :
1.      sebagai sarana kontrol social
2.      sebagai pencegah campur tangan pihak lain
3.      sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.

            Berdasarkan pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan suatu pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi itu sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan masyarakat terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum.
            Profesi hukum meliputi polisi, jaksa, hakim, advokad, notaris dan lain-lain, yang kesemuanya menjalankan aktivitas hukum dan menjadi objek yang dinilai oleh masyarakat tentang baik buruknya upaya penegakan hukum, walaupun faktor kesadaran hukum masyarakat sebenarnya juga sangat menentukan dalam upaya tersebut. Berikut ini beberapa kode etik profesi hukum, yang apabila dipatuhi dan ditegakkan dapat menjadi upaya preventif keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus kejahatan dan lingkaran mafia peradilan.
            Dalam kode etik kepolisian, salah satunya disebutkan bahwa setiap anggota Polri harus ”menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela, serta mempelopori setiap tindakan mengatasi kesulitan masyarakat sekelilingnya”. Disamping itu, setiap insan Polri juga diharapkan ”mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan penyalahgunaan wewenang”.
            Sementara dalam korps Adhyaksa, diantaranya jaksa dilarang menerima atau meminta hadiah dan tidak boleh menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan pihak lain, termasuk dalam merekayasa fakta hukum dalam penanganan perkara.Dalam kode etik hakim juga diatur beberapa larangan, seperti dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani. Kemudian dilarang juga untuk menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
            Advokad merupakan profesi yang memberikan jasa hukum, baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan, yang kinerjanya juga mempengaruhi bagaimana kualitas penegakan hukum. Kode etik advokad, khususnya dalam hubungan dengan klien, diantaranya advokad/penasihat hukum tidak dibenarkan memberi keterangan yang dapat menyesatkan klien atau menjamin perkara kliennya akan menang. Begitu pula dengan Notaris, sebagai salah satu profesi hukum juga memiliki kode etik profesi dalam menjalankan profesinya, karena notaris juga ikut serta dalam pembangunan nasional, khususnya dibidang hukum. Dalam kode etiknya diatur bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur, tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
            Apabila kita amati beberapa ketentuan dalam kode etik profesi hukum tersebut, kesemuanya mewajibkan agar setiap profesi hukum itu dijalankan sesuai dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Namun demikian, dalam prakteknya, kode etik profesi hukum yang mengandung pertanggungjawaban moral untuk menjaga martabat profesi, kini banyak dilanggar. Oleh karena itu perlu ada reformasi internal aparat penegak hukum secara konsisten, profesional dan berkelanjutan berkaitan dengan penegakan etika profesi hukum. Demikian perlu kejelasan kode etik profesi hukum dan pemahaman baik moral maupun materil, agar penyelewengan hukum dapat dikurangi dan perlahan diatasi. [5]
            Penegakan hukum yang tidak berdasarkan moralitas juga salah satu factor penghambat penegakan hukum itu sendiri. Sebagai landasan penegakan hukum yang dapat menyahuti tuntutan masyarakat haruslah hukumnya yang responsive, jika tidak maka ia akan kehilangan rohnya. Rohnya hukum itu adalah moral dan keadilan. [6]  Sudah sama dimaklumi, bahwa penegakan hukum dimaksudkan, agar tercipta tatanan hukum yang baik bagi masyarakat, atau dengan kata lain supaya hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia. Penegakan hukum adalah sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali (restitution in integrum). Dalam penegakan hukum paling tidak mengandung 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: Kepastian hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit). Dalam penegakan hukum, ketiga unsur tersebut harus sama-sama diperhatikan secara proporsional dan seimbang. Maka secara konsepsional kata Sukamto (1983), inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejahwanta serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai yang bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian hidup. Nilai-nilai yang penting dalam penegakan hukum, yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan dan kejujuran.
Keberadaan hukum adalah untuk ditaati, dilaksanakan dan ditegakkan. Penegakan hukum (law enforcement) harus dilakukan dengan tegas dan konsekuen, penuh dedikasi dan tanggung jawab. Hal ini akan berpengaruh bagi peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Karena kalau penegakan hukum lemah, maka akan melahirkan sikap acuh dari masyarakat dan memberi peluang serta perangsang terjadinya pelanggaran hukum dan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).
Tercapainya tujuan hukum justru terletak pada pelaksanaan hukum itu sendiri. Seperti disampaikan oleh Syahrani (1999), bahwa ketertiban dan ketenteraman hanya dapat diwujudkan kalau hukum dilaksanakan. Sebab kalau tidak, kata Sudikno (1991), maka peraturan hukum itu hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat. Peraturan hukum yang demikian itu akan mati sendiri. Oleh karena itu dalam keadaan bagaimanapun hukum harus ditegakkan. Sampai- sampai ada adagium “meskipun langit ini runtuh hukum harus ditegakkan” (fiat justitia et pereat mundus).
 Di negeri ini sudah begitu banyak perturan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, tujuannya tidak lain adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum, namun dari waktu ke waktu, dari pergantian beberapa kali pemerintahan mulai dari rezim Orde Lama, Orde Baru sampai dengan sekarang ini Orde Reformasi yang namanya kebenaran dan keadilan masih terasa amat jauh dan selalu menjadi bahan pertanyaan yang tak kunjung terjawab tuntas. Sampai kapankah kita bisa menyaksikan kebanaran dan keadilan itu datang berjalan bergandeng tangan dengan mesra menghiasi persada negeri ini.
Dalam penegakan hukum harus pula diperhatikan kemanfaatan atau kegunaannya bagi masyarakat. Oleh karena hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat, maka pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyrakat. Jangan sampai penegakan hukum justeru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Penegakan hukum juga harus mengandung nilai-nilai keadilan, tidak melanggar HAM dan dilakukan secara demokratis. [7]
Sebgai elemen penegak hukum, mari bergegas tampil ke depan sebagai pahlawan kebenaran dan keadilan. Tugas dan tanggung jawab yang berat, akan tetapi mempunyai nilai yang luhur di hadapan Tuhan. Sebagai penegak hukum harus tertanam dengan kuat komitmen, bahwa tujuan hukum adalah tegaknya kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu terhadap pelaku pelanggaran hukum. Untuk itu dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penuh dedikasi dan rasa tanggung jawab serta integritas moral yang tangguh. Sebab dari fenomena yang ada, karena kurangnya ketegasan atau karena kegamangan dalam menghadapi pelanggaran hukum, maka banyak pelanggar-pelanggar hukum yang lolos dari jerat hukum atau dengan kata lain lepas dari adanya pelanggaran hukum, akan tetapi masih ada yang kurang mendapat respon dan penanganan yang memuaskan oleh aparat penegak hukum, terutama perkara-perkara besar yang menjadi sorotan publik. Sehingga ada pameo yang mengatakan, bahwa “hukum yang diterapkan saat ini ibarat jaring laba-laba”, artinya mereka yang melakukan tindak pidana dalam kategori kelas kakap lolos dari jeratan hukum, sedangkan yang terjerat hanya kelas teri. Diakui atau tidak, proses penegakan hukum masih mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan konsisten terhadap nilai-nilai moral. Karena aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan bermoral tidak akan berani melakukan manipulasi hukum, dan tidak akan berani mempertaruhkan harga dirinya dengan membohongi hati nuraninya. Karena hal itu sama saja dengan main kucing-kucingan dengan Tuhan, padahal Tuhan mengetahui apa-apa yang tersembunyi di balik hati manusia. Masyarakat sekarang ini sudah semakin kritis dalam menilai permasalahan hukum, terutama terhadap kasus-kasus pelanggaran hukum yang marak terjadi di mana- mana. Jika terjadi ketidak sesuaian antara apa yang diharapan dengan kenyataan dalam penerapan penegakan hukum, maka akibatnya masyarakat kurang mempercayai dan kurang menghargai hukum. Akan lebih tragis lagi kalau masyarakat akan kurang menghargai keberadaan aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.           





BAB III
Penutup

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas bahwa terhambatnya penegakan hukum di Indonesia karena beberapa faktor.  Penegakan hukum di Indonesia sekarang juga sudah kabur, antara yang benar dan yang salah sudah tidak ada batasan lagi. Orang-orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan, maka dialah yang akan mengendalikan hukum di Indonesia. Sedangkan mereka yang tak memiliki apa-apa hanya bisa diam dan tak mampu untuk memberontak.
Untuk menstabilkan penegakan hukum di Indonesia, maka kode etik profesi hukum sangat berperan di dalamnya sebagai acuan para pemegang kekuasaan hukum untuk menentukan hukum yang seadil-adilnya. Agar tercipta keamanan dan rasa nyaman bagi masyarakat Indonesia.
Dalam penegakan hukumpun landasan moralitas sangat diperlukan, sebagai salah satu menentukan hukum yang baik bagi setiap masyarakat. Ketiganya sangat berkaitan, baik factor penghambat, kode etik profesi hokum, maupun landasan moralitas guna terciptanya Negara hukum di Indonesia yang seutuhnya, bukan Negara hukum yang selama ini diperbudak oleh kekuasaan dan jabatan.



[1] Kompas 2010
2.  Soerjono Soekanto dan Purbacaraka , Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, 1979

[3]  Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, Rajawali, 1986, halm:3
[4]   Soerjono Soekanto dan Purbacaraka , Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, 1979

[5] Dwi Haryadi, S.H.,M.H., Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial , Universitas Bangka Belitung
Dikirim oleh Admin , Tanggal 2008-12-30, Jam 19:15:07
[6] M. Husni, Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Responsive, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
[7] Drs. Lukman Hadi, SH. MH, Menjadikan Moralitas Sebagai Landasan Dalam Berpolitik dan Penegakan Hukum, 

Aksiologi dalam Keperawatan

ILMU FILSAFAT
AKSIOLOGI DALAM KEPERAWATAN



Disusun Oleh :
Mitra Yuni Ratnasari
NIM : 04121003029
Dosen Pengasuh : Arie Kusumaningrum S.Kep.M.Kep.Sp.Kep.An



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN
                                                        2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Aksiologi dalam Keperawatan”.
Makalah ini disusun untuk menjelaskan tentang Cabang ilmu filsafat agar dapat diterapkan dalam praktek keperawatan, serta diajukan demi memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Filsafat semester ganjil.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Palembang,   Juli 2013 


                                                                                                                             Penulis








DAFTAR ISI

Kata Pengantar  .....................................................................................................................              2
Daftar Isi ...............................................................................................................................              3
BAB I  : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................               4
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................................               5
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................                6
1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………………………...                       6
BAB II             : PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Aksiologi.......................................................................................................                 7
2.2 Kategori Dasar Aksiologi................................................................................................                 8
2.3 Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu Keperawatan.......................................................                     10
2.4 Sudut Pandang Ilmu Keperawatan dalam Landasan Aksiologi......................................                       10
BAB III : PENUTUP   
3.1 Kesimpulan .....................................................................................................................               11
3.2 Saran ...............................................................................................................................              11
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………         12






BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak sulit untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi kehidupan manusia modern telah disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi, sektor ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan transportasi, pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya membututuhkan dan mendapat sentuhan teknologi.
Satu hal lain yang menjadi karakter spesifik ilmu kontemporer, dan dalam konteks ini dapat kita temukan secara relatif lebih mudah pada bidang-bidang sosial, yaitu bahwa ilmu kontemporer tidak segan-segan melakukan dekontruksi dan peruntuhan terhadap teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan baru dalam rekontruksi ilmu yang mereka bangun. Dalam hal inilah penyebutan “potmodernisme” dalam bidang ilmu dan filsafat menjadi diskursus yang akan cukup banyak ditemukan.
Semua kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut dari pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetahuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Pengetahuan (knowlodge atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berfikir”. Berfikir (atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia (atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan “barangkali” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Ketiga landasan tersebut juga mendasari perkembangan ilmu dalam dunia keperawatan. Namun, untuk kesempatan kali ini, kita hanya akan membahas satu dari tiga landasan tersebut yaitu “Landasan Aksiologi dalam Keperawatan”

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Aksiologi ?
2.      Apa saja kategori dasar Aksiologi ?
3.      Apa hubungan filsafat ilmu dengan ilmu keperawatan ?
4.      Bagaimana sudut pandang ilmu keperawatan dalam landasan Aksiologi ?
C.      Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian Aksiologi
2.      Menjelaskan kategori dasar Aksiologi
3.      Menjelaskan hubungan filsafat ilmu dengan ilmu keperawatan
4.      Menjelaskan sudut pandangan ilmu keperawatan dalam landasan Aksiologi

D.     Manfaat
1.      Agar pembaca mengetahui Pengertian Aksiologi
2.      Agar pembaca mengetahui kategori dasar aksiologi.
3.      Agar pembaca memahami hubungan filsafat ilmu dengan ilmu keperawatan
4.      Agar pembaca mengetahui sudut pandang ilmu keperawatan dalam landasan Aksiologi














BAB II
Pembahasan

2.1 Pengertian Aksiologi
Istilah aksiologi dalam bahasa Inggris adalah axiology. Berasal dari kata Yunani axios (layak, pantas), dan logos (ilmu, studi mengenai). Dalam filsafat pembicaraan aksiologi dilakukan untuk mengetahui batas arti, tipe, kriteria dan status epistemologis dari nilai-nilai.
Atas dasar itu, pembicaraan tentang aksiologi, juga menyangkut pembahasan segala sesuatu yang bernilai dan siapa yang menentukan bahwa sesuatu itu bernilai. Sudah tentu, dalam filsafat ilmu, yang dimaksudkan sebagai sesuatu adalah ilmu. Artinya ilmu itulah yang akan dibicarakan nilai-nilainya. Senada dengan hal itu aksiologi juga berarti ajaran tentang nilai dan sistem nilai dalam ilmu filsafat. Dan bisa juga didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai.
Aksiologi meliputi nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan.
Berbicara mengenai nilai, dapat kita jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Bukanlah itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai.
Teori nilai kaitannya dengan aksiologi, dapat kita bagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral sedangkan nilai estetika adalah kajian filsafat yang bertalian dengan keindahan dan kejelekan.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1.      Moral conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan keindahan.
2.      Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3.      Socio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan denagn value and valuation :
1.      Nilai digunakan sebagai benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2.       Nilai sebagai benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3.      Nilai juga di pakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.

2.2  Kategori dasar Aksiologi
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1.              Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2.              Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis
1.      Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2.      Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3.      Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4.      Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia

2.3  Hubungan Filsafat Ilmu dan Ilmu Keperawatan
Falsafah keperawatan mengkaji penyebab dan hukum-hukum yang mendasari realitas, serta keingintahuan tentang gambaran sesuatu yang lebih berdasakan pada alasan logis daripada metoda empiris.
Falsafah keilmuan harus menunjukkan bagaimana pengetahuan ilmiah sebenarnya dapat diaplikasikan yang kemudian menghasilkan pengetahuan alam semesta, dalam hal ini pengetahuan keperawatan, sehingga falsafah keperawatan adalah keyakinan dasar tentang pengetahuan keperawatan yang mengandung pokok pemahaman biologis manusia dan perilakunya dalam keadaan sehat dan sakit terutama berfokus kepada respons mereka terhadap situasi.

2.4  Sudut pandangan ilmu keperawatan dalam landasan Aksiologi
Secara aksiologi,keperawatan yang merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang memiliki andil besar dari masyrakat,jika dulu orientasi keperawatan adalah pada individuyang sakit , kini orientasi meluas hingga individu yang sehat. Dalam hal ini keperawatan selalu berupaya untuk menggembangkan diri kearah professional .Wujud penggembangan ilmu keperawatan mencakup dua hal penting ,yakni bidang pendidikan dan latihan serta bidang praktik keperwatan.
Penggembangan ilmu keperawatan dalam bidang pendidikan diwujudkan melalui pendidikan berkelanjutan serta pendidikan dan latihan khusus di bidang praktik keperawatan. Pengembangan ilmu keperawatan bidang pendidikan dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas layana keperawatan yang dilandasi keilmuan serta  sikap professional yang dilandasi oleh kaidah etik proesi dan standar praktik keperawatan yang berlaku. Ini karena keperawatan tidak hanya sekedar ilmu tapi juga praktik.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Melihat pada aspek pemikiran yang cepat dan tepat, filsafat ilmu sangatlah perlu dikuasai oleh seorang perawat. Karena sangat tidak menutup kemungkinan seorang perawat dalam menjalankan tugasnya menghadapi persoalan-persoalan bagai dilema yang sangat sulit dipecahkan. Oleh karena itu perawat haruslah mampu menguasai filsafat ilmu itu sendiri untuk menunjang dalam kecepatan dan ketepatan berfikir dan bertindak.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.
3.2  Saran
Sebagai seorang perawat kita haruslah memiliki dan memahami serta menerapkan prinsip daripada Filsafat Ilmu, dengan menerapkannya maka kita mampu menyelesaikan masalah dengan pemikiran-pemikiran yang tepat, baik dan cermat.









DAFTAR PUSTAKA

Asmadi.2008.Konsep Dasar Keperawatan.Jakarta:EGC
Khaidar.2011.Konsep Ontologi, epistemologi. http://khaidar212.blogspot.com/2011/12/konsep-ontologi-epistemology-dan.html